Dalam masyarakat Jawa ada pepatah “ Ajining diri gumantung saka kedaling lathi, ajining raga gumantung ana ing busana”. Dari pepatah tersebut dapat disimpulkan bahwa kepribadian seseorang tergantung dari apa yang keluar dari lisannya serta cara berpakaiannya.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang mengedepankan njaga rasa atau menjaga perasaan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Hal tersebut diwujudkan dalam tutur kata maupun tingkah laku. Ketika berkomunikasi dengan orang lain diharapkan kita dapat menggunakan unggah-ungguh yang tepat, sehingga kita bisa membedakan bagaimana cara berbicara dengan teman yang sepantaran atau seusia, dan bagaimana cara berbicara dengan orang yang lebih tua.
Menurut Franz Magnis Suseno, unggah-ungguh identik dengan prinsip hormat yaitu suatu sikap dimana orang Jawa dalam cara bicara dan membawa diri selalu atau harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan bahasa keluarga dan menggunakan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu krama sebagai bentuk sikap hormat, dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, dan krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi.
Sedangkan Maryono Dwiraharjo mendefinisikan unggah-ungguh sebagai berikut: unggah-ungguh adalah tingkah laku berbahasa menurut adat sopan santun masyarakat yang menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh orang Jawa dalam membawa diri di masyarakat yang selalu memperhatikan ucapan atau bahasa dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan lebih baik dan selaras. Kedua kata tersebut jika digabung menjadi unggah-ungguh artinya sopan santun, basa basi atau tata krama. Ini menunjukkan bahwa orang Jawa ketika bergaul dalam masyarakat selalu berhati-hati dalam membawa diri sehingga memperhatikan aturan sopan santun dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun, aman, damai dan sentosa tanpa ada konflik.
Tataran bahasa Jawa ini memiliki tingkatan tertentu yang digunakan sebagai landasan. Tingkatan diawali dari bahasa Jawa ngoko, madya hingga krama. Tingkatan paling rendah disebut dengan ngoko. Digunakan untuk berkomunikasi orang tua kepada anaknya, ataupun orang yang sebaya. Tingkatan kedua dikenal dengan madya, berupa tingkatan kesopanan menengah. Madya biasanya digunakan oleh pemangku kedudukan atau usia yang setara. Tingkatan selanjutnya yaitu krama, tingkatan bahasa yang paling tinggi. Untuk krama ini, masih ada krama inggil yakni sebuah tingkatan yang digunakan anak ketika berkomunikasi dengan orang tua, maupun orang yang lebih rendah kedudukannya kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya. Adanya tingkatan tersebut, secara tidak langsung bahasa Jawa bisa dianggap merupakan kesadaran akan kedudukannya masing-masing.Tidak berhenti pada aspek bahasa saja. Unggah ungguh juga meluas hingga aspek pergaulan. Bukan hanya sebatas pada tutur sapa yang tepat. Lebih dari itu, mewujud juga dalam sikap andap-asor, yaitu sikap rendah hati atau tahu diri dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Bisa dikatakan ini merupakan sikap moral orang Jawa yang dianggap paling penting. Melalui unggah ungguh, secara tidak langsung memberikan pengajaran bahwa orang Jawa harus senantiasa tahu diri, sapa sira sapa ingsun tanpa harus kumalungkung atau menyombongkan diri.
Akan tetapi, perubahan zaman tidak bisa dihindari. Perlahan namun pasti, nilai-nilai ungah ungguh di Jawa mengalami pergeseran yang bisa dilihat dari tutur bahasa generasi Jawa saat ini. Kini banyak generasi Jawa yang enggan, bahkan merasa malu, manakala harus berkata dengan menggunakan bahasa krama. Mereka menilai unggah ungguh yang ada di Jawa terkesan rumit, bahkan dianggap ketinggalan jaman. Oleh karena itu, banyak generasi sekarang malas untuk belajar dan akhirnya lupa dengan bahasa ibunya sendiri.
Bagaimana dengan tugas orang tua sebagai dalam mendidik untuk mengenalkan bahasa ibu pada anak-anak? Ternyata selama ini orangtuanyapun tidak pernah mengajarkan bahasa Jawa kepada anak-anaknya, begitu juga dengan unggah-ungguh. Rata-rata orang tua malas mengenalkan bahasa Jawa dengan alasan bahasa Jawa lebih rumit daripada bahasa Indonesia. Banyak sekali keluarga Jawa sekarang yang mendidik anaknya sejak kecil dengan bahasa Indonesia, ataupun memperkenalkan bahasa Jawa namun hanya sebatas bahasa ngoko. Dengan keadaan ini, menyebabkan banyak anak-anak sekarang yang ketika berkomunikasi dengan siapapun hanya menggunakan bahasa ngoko, termasuk kepada orang tua. Ketika keluar dari rumah kemudian berkomunikasi dengan orang lain, anak akan cenderung menggunakan bahasa Indonesia karena lebih mudah dan tidak perlu menggunakan bahasa krama, walaupun berbicara dengan orang yang umurnya lebih tua.
Terkait dengan hal ini, penulis mengambil contoh dari sebuah peristiwa yang pernah diamatinya. Peristiwa ini terjadi kira-kira dua bulan yang lalu. Tepatnya di rumah rekan penulis di daerah Sragen. Waktu itu, penulis bertamu ke rumah seorang teman. Di tengah-tengah obrolan, tiba-tiba putranya yang saat itu bersekolah di jenjang SMA masuk, melewati kami yang sedang mengobrol tanpa menyapa dan tanpa membungkukkan badan sama sekali. Sikap seorang anak seperti ini cukup mengejutkan. Apalagi orang tua juga terkesan membiarkan dan tidak menegur. Apanya yang salah ? sikapnya. Semestinya ketika lewat di depan orang tua, haruslah berhenti untuk menyapa kemudian bersalaman, kemudian ketika melanjutkan perjalanan, hendaknya berjalan sambil membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada orang tua.
Untuk hal seperti ini, dalam keluarga penulis lebih ketat lagi. Ketika penulis bersikap seperti itu, maka dipastikan orang tua penulis akan mandang terus kepada penulis dalam jangka yang lama dan tanpa berkedip. Bagi orang yang sudah mengasah rasa, maka dia akan tahu bahwa dia mempunyai kesalahan yang harus diperbaiki.
Sebenarnya masih banyak peristiwa lain mengenai anak yang kurang mengerti unggah-ungguh dalam berbahasa. Padahal jika kita mau belajar, unggah-ungguh bahasa ini mampu menciptakan sebuah keteraturan interaksi. Menjadikan hidup harmonis. Yang muda menghormati yang tua. Sebaliknya, yang tua menghargai yang muda.
Selama ini semakin banyak orang Jawa yang ilang Jawane. Maka peran orang tua sebagai madrasah pertama anak dan sekolah sebagai institusi pendidikan sangat penting untuk kembali menanamkan unggah-ungguh kepada anak-anak Jawa. Dalam hal ini diperlukan kesadaran dan kesungguhan agar roh Jawa kembali merasuk ke jiwa anak-anak kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar